"pukul 1.30 dinihari..dan saya masih belum bisa memejamkan mata.
Berbagai hal terus berjalan-jalan di pikiran saya...kesal, sedih, marah...tumpah dan tercampur jadi satu dalam benak yang sangat lelah.
Sore ini saya menangis di bahunya, menumpahkan kekesalan saya karena ternyata penyesuaian gaji untuk tanggung jawab baru saya belum diberikan. Saya marah. Saya merasa tidak dihargai. Lelaki saya minta saya untuk bersabar. Semua masalah waktu, katanya. Saya kesal. Rasanya dia tidak mengerti perasaan saya.
Detik ini, pikiran saya membawa perasaan saya seorang sahabat. Mendadak saya sangat merindukan dia. Teman satu kantor yang akhirnya berpisah karena kami sibuk dengan kesempatan yang kami dapat masing-masing. Pekerjaan baru yang saya inginkan dan karirnya yang sedang menanjak di tempat kami bekerja saat itu.
Gadis batak ajaib yang memiliki harga diri sangat besar itu akhirnya tertimpa kasus yang memaksanya untuk memilih pergi dengan kepala tegak dan meninggalkan masalah baru bagi hidupnya.
Papa-nya adalah kepala departemen perusahaan minyak negara di suatu kota kecil. Demi harga dirinya, sahabat saya menolak untuk menerima jatah bangku papa-nya di perusahaan tersebut dan dia memilih untuk mencari sendiri pekerjaannya.
Setelah tinggal di Jakarta, dan tanpa pekerjaan, dia masih rutin menghubungi saya..bercerita sana sini dan saya pun berusaha untuk tidak menutup mata atas kesulitan sahabat saya. Apapun yang dia butuhkan,saya berjanji untuk selalu ada untuk dia.
Rencana pernikahan saya dan tempat kerja saya yang baru membuat saya cukup sibuk, sehingga terlalu sibuk untuk menyadari bahwa sahabat saya semakin jarang menghubungi saya. Sampai suatu ketika, beberapa hari sebelum pernikahan saya, dia menghubungi. "Saya akan membuat pengakuan",katanya.
Di kamar kos-nya kami duduk,hanya berdua, satu botol vodka dan sari buah memberinya keberanian yang cukup untuk menyatakan pengakuannya di depan saya.
"Saya jual tubuh saya untuk bertahan hidup",begitu katanya. Satu kalimat dan pecahlah tangis saya. Dunia seakan jatuh menimpa kepala saya. "Kamu pasti jijik,saya saya", dia meneruskan kalimatnya. Sedikitpun tidak terlintas kata itu dibenak saya. Saya hanya merasa, kagum pada pada harga dirinya, yang tidak dibiarkan jatuh walau kesulitan menimpanya. Saya merasa, menjilat sendiri omongan saya, bahwa saya akan selalu ada di saat dia membutuhkan saya. Saya tidak ada saat dia dalam kesulitan, saat dia harus berpikir mendapatkan uang untuk makan esok hari, untuk membeli sedikit pulsa telepon untuk mengabari mamanya bahwa dia baik-baik saya di sini.
Kesulitan saya tidak pernah ada apa-apanya dibandingkan dia. Ceramah harga diri saya masih nol, tapi dia sudah membuktikannya ke seluruh dunia. Keluh kesah saya dan air mata yang tertumpah sore tadi membuat saya malu. Hanya masalah waktu dan saya masih bisa makan tiga kali sehari tanpa memikirkan apa yang harus dimakan besok, dan saya marah karena itu,,
Saya malu...
Saya rindu sahabat saya. Tidur di tenda bolong berdua, menertawakan kesulitan hidup dan kesombongan kami. Menertawakan banci-banci perempatan cempaka putih atau menangisi gelandangan yang tidur di gerobak....saya rindu saat itu.
Kini dia di sebuah pulau yang kata orang adalah pulau milik para dewa....berusaha mengumpulkan kembali impiannya yang berantakan. Menegakkan harga dirinya yang pernah terhempas...dan saya merindukan dia....
Saya tidak berdoa, tidak juga dia...tapi saya percaya dia baik-baik saja di sana...."
Saya menangis gemetar...
"It's better to Playing God with our self..
Than Playing God with others..."
No comments:
Post a Comment